Selasa, 31 Mei 2011

French Press / Plunger

Kembali ke ritual sarapan, tapi kali ini kopi akan diseduh dengan alat yang disebut dengan French Press atau mungkin lebih dikenal dengan istilah Plunger. Kopinya sendiri bisa kopi bubuk (bukan kopi instan lho) yang ada di Supermarket (disarankan yang kopi Arabika dan mohon dilihat tanggal roastingnya), jika mempunyai grinder kopi (seperti tampak dalam gambar) maka akan lebih baik membeli roasted beansnya.


Nah .... ini ada "ritual"nya juga alias tahap-tahap dalam membuatnya, monggo disimak:

Tahap 1
Pilih bubuk kopi yang agak kasar, karena jika terlalu halus maka akan bisa lolos dari filter sehingga sisa-sisa bubuk kopi akan terbawa pada saat hasil seduhan kopi dituang ke dalam gelas.


Tahap 2
Angkat tutup beserta filter yang menyertainya dari gelas French Press.

Tahap 3
Untuk jumlah bubuk kopi yang dimasukkan, biasanya ada indikasi yang ditunjukkan oleh masing-masing French Press, coba sebelum Tahap 2 di atas, dalam keadaan kosong tekan filter ke bawah maka akan ada ruang kosong di bawah, nah itu tanda paling gampang untuk kita memasukkan bubuk kopi adalah sebesar ruang kosong itu.



Atau jika mau memakai rumus juga bisa (tetapi tergantung kapasitas dari French Press itu sendiri), dalam hal ini misalnya untuk single cup alias hasil akhirnya adalah 1 gelas dengan kapasitas 6oz (sekitar 180 ml), maka takaran bubuk kopi adalah antara 8 gram sampai dengan 10 gram, disesuaikan dengan seler
Tahap 4
Untuk air panasnya, kuncinya adalah air tidak boleh dalam keadaan mendidih kemudian langsung dituangkan. Karena itu akan merusak cita rasa dari kopi itu sendiri, akan lebih baik dari posisi air mendidih kemudian kita matikan apinya dan biarkan air itu selama antara 1 s/d 2 menit agar didapat suhu antara 90 s/d 95 derajat celcius.



Semua proses membuat kopi adalah tidak mutlak tetapi variannya mendekati, karena banyak faktor yang mempengaruhi seperti jenis kopinya, di posisi apa sang kopi diroast dan yang utama adalah selera dari yang akan meminumnya.

Tahap 5
Tentunya tuang air panas dengan suhu 90 s/d 95 derajat celcius, akan terlihat bubuk kopi naik ke atas. Biarkan ..... oh iya, siapkan stop watch untuk memulai ritual 4 menitnya.

Tahap 6
Setelah 1 menit, gunakan sendok plastik atau kayu (jangan menggunakan sendok stainless atau besi, jika kita tidak hati-hati waktu mengaduk bisa merusak gelas). Aduk secara santai tidak sampai 30 detik.

Tahap 7
Tutup dari French Press yang ada filternya sudah boleh dipasangkan, tetapi jangan ditekan dulu filternya sampai genap paling tidak 4 menit.

Tahap 8
Begitu stop watch menunjukan 4 menit, secara perlahan-lahan tekan filter dari French Press sampai ke dasar. Pada prinsipnya makin kasar butiran kopinya akan memakan waktu laebih lama dari 4 menit yang dianjurkan. Kopi yang berbeda pula memerlukan keseimbangan yang berbeda pula antara butiran-butiran kopi (grind coffee) dan lama dari proses brewingnya.

Tahap 9
Tunggu sekitar 30 detik agar sedimentasi dari bubuk kopi dibawah filter memadat, setelah itu tuangkan semua air kopinya ke dalam gelas kita. Maksudnya kenapa kok harus menuangkan semuanya ? Karena kalau kita menuang sedikit ke gelas, kemudian nanti sedikit lagi, efeknya adalah cita rasa kopi akan berubah karena yang tertinggal di dalam French Press akan terus bereaksi.



Dalam contoh ini, kebetulan saya ingin meminumnya dengan susu kental manis es alias dingin, tetapi biasanya proses ini untuk kopinya diminum panas.

Selamat menikmati dan selamat bereksperimen ........ kopiku enak kopiku muantabssssss ..... hehehehe 

Minggu, 29 Mei 2011

Project 1 .... Cangkir Coffee ..... sudah berjalan


Sebuah ide yang tercetus di akhir semester 1 di tahun 2009 yang kemudian saya discuss dengan istri saya yang kemudian dilanjutkan ke masing-masing teman, kebetulan era 2009 sedang hot-hotnya reunian dan saya bertemu dengan teman masa kecil saya yang saya lihat suka ngopi. Istri saya (yang kebetulan suka ngopi) juga cerita ke teman lamanya yang suka ngopi juga plus penambahan 1 pemegang saham juga yang merupakan sesepuh diantara kami.

Tapi ..... kita tidak punya pengalaman di bidang ini. Dan mulailah hunting informasi termasuk mencoba untuk "belajar cepat" dengan cara "ingin" beli franchise. Setelah ditelaah, dipikirkan dan disurvey serta dicoba, khususnya saya mencoba 8 lokasi di daerah Jabotabek dari para pembeli merek itu ..... hmmm .... ternyata ada yang kurang pas.

Maka mulailah mengumpulkan informasi sambil belajar Barista ...... apa pula itu Barista ? (nanti akan saya bahas di tulisan yang akan datang), plus dibantu oleh seorang praktisi di bidang ini. Dengan perencanaan, persiapan sampai terealisir di tanggal 7 December 2009 ..... setelah 6 bulan "from nothing to something" akhirnya terealisir sebuah Coffee Shop mungil yang areal aslinya kurang dari 20 meter persegi, yang bernama :


Idealisme dari nama itu sendiri adalah "The Italian Way of Warung Kopi" yang maksudnya adalah, kami mempergunakan biji-biji kopi Indonesia dengan menggunakan mesin Espresso yang merupakan cara Italia dalam brewing coffee.

Produk-produk andalannya tentu minuman-minuman berbahan dasar kopi, tetapi tidak menutup hanya itu saja karena kami juga berupaya mengakomodir para tamu yang tidak (baca: belum) minum kopi. Apa saja minumannya ? Andalan di minuman kopinya (sebagian kecil) ......





Dan tentunya minuman-minuman yang tidak mengandung kopi juga ada dalam perkembangannya bertambah 1 demi satu (minuman-minuman dalam foto di bawah adalah sebagian) .....


Nah kalau ditanya apa saja itu minuman yang warna warni ..... monggo silahkan mencobanya langsung. Kami juga menyediakan makanan-makanan dari croissant, mini pasta, muffins, jajanan pasar, sandwich dan masih ada lagi .... sekali lagi buktikan.

Coffee shop mungil ini juga sempet dilirik oleh sebuah majalah Thailand edisi dua bulanan yaitu coffee t & i volume 21 (March - April 2011), dan jika ada yang mau download majalahnya bisa click www.coffeetandi.com, penampakan fisiknya seperti ini (maaf kualitas fotonya kurang bagus karena diambil seadanya dengan iPhone generasi 1 dan tanpa diedit) ...


Yang terbaru yaitu di bulan May 2011 "si mungil" ini muncul kembali tapi dalam topik "Bicara Tentang Espresso" di free magazine Bon Appetit (www.bon-appetit.biz), penampakannya (sekali lagi foto kurang maksimal karena untuk tulisan ini, langsung difoto dengan BB) ....


Dan mungkin masih banyak rencana-rencana dikemudian hari ....... hidup kopi-kopi Indonesia dan banggalah kita dengan produk kopi-kopi Indonesia yang di luar negeri sangat digemari dan dihargai ..... ternyata ada yang bilang kalau kopi itu product andalan no 2 setelah minyak bumi ..... ternyata yang gelap-gelap itu "making money" yah .....

Kamis, 26 Mei 2011

Wedding Photography (1) : Candid



Foto pernikahan adalah suatu bidang yang tidak akan pernah ada habis-habisnya, karena adalah suatu peristiwa penting dalam hidup sepasang insan manusia. Foto pernikahan orang tua kitapun sampai sekarang masih bisa kita nikmati dan re-produksi. Untuk masalah re-produksi foto sendiri akan saya coba ulas nanti sehubungan dengan fenomena digital yang membuat seakan-akan foto itu simple alias mudah.

Pada bagian tulisan kali ini, akan coba dibahas tentang foto pernikahan yang lebih mengkhususkan ke Snapshot atau Candid. Kalau diruntun dari awalnya, foto pernikahan itu bisa dikatakan "hanya" atau "sekedar" foto dokumentasi, dan memang pada hakekatnya foto pernikahan adalah sebuah foto dokumentasi. Tetapi sejalan dengan waktu, foto pernikahan bisa dijabarkan lagi dari yang disebut dokumentasi menjadi Documentation, Posing Pose dan Candid (akan dijabarkan masing-masing secara mandiri).

Candid atau Snapshot sendiri berakar dari Photo Journalism karena memang pada dasarnya seorang fotografer yang mengaku membuat karya foto Candid paling tidak harus mempunyai pengalaman atau tahu salah satu style di photography yang namanya Photo Journalism / Journalistic. Hal ini dirasa perlu karena seorang photographer journalism diharapkan mempunyai sense atau naluri yang khas terhadap suatu situasi yang dihadapinya, serta harus cepat melakukan eksekusi karena kalau tidak akan kehilangan moment. Konsentrasinya pun merupakan hal tersendiri, karena si fotografer harus peka terhadap tiap detik kejadian yang dihadapinya ...... prinsipnya kejadian tidak bisa diulang dan 1 gambar / foto akan sangat-sangat bernilai karena konsentrasi dan naluri dari sang fotografer.


Sang fotografer sendiri harus mempersiapkan diri sepraktis mungkin dan seefisien mungkin, karena dia harus leluasa bergerak. Terutama dalam suatu pernikahan di mana banyak pihak yang terlibat, maka seorang wedding photographer dengan kekhususan di Candid harus mempunyai keleluasaan bergerak dengan stamina yang memadai serta sense atau naluri yang tajam.


Pada jaman era Film Seluloid alias era non digital, fotografer sendiri harus melakukan perhitungan tersendiri dalam hal "peluru" alias film negative atau positive. Karena 1 roll film isinya 36 frame yang artinya sang fotografer harus siap dengan kejadian berikut setelah kejadian sekarang yang dihubungkan dengan ketersediaan frame dalam kameranya, jangan sampai di moment penting dan ada kejadian penting pas filmnya habis ..... paling tidak ada kamera cadangan yang harus siap.


Dan akhirnya ..... jam terbang berbicara, karena sebenarnya tidak ada yang instan, semua harus melalui jam terbang untuk mendapatkan yang namanya pengalaman. Di era digital, seakan-akan beberapa point dibuat mudah, padahal bukan demikian. Masalah di paragraf di atas memang bisa dikatakan tidak akan pernah terjadi karena memori card sekarang kapasitasnya sudah semakin besar, tetapi ada bahaya "laten"nya juga yaitu memory card jam alias foto-foto tidak tersimpan .... dan ini merupakan masalah sangat-sangat besar, terutama karena menangkap moment-moment secara Candid tidak bisa diulang ke"khasan"nya.


Candid di Wedding Photography jangan digampangkan, dalam arti seorang fotografer harus paham benar makna serta hasil yang diharapkan serta siap juga membuat planning B jika apa yang dia pikirkan terhadap suatu kejadian tidak terjadi atau kurang dramatis.


Kalau ditanya, enaknya pakai ASA/ISO brapa, speed berapa dan masalah lighting bagaimana? Pakem baku dalam journalistic adalah moment, sehingga ASA/ISO relatif tinggi diperlukan untuk mendapatkan speed yang mumpuni yang disesuaikan dengan kondisi lighting yang ada. Kecuali si fotografer mau mengkombinasikan dengan tehnik slow speed misalnya.


Selamat mencoba dan terus menggali potensi diri dan tujuan dalam berkarya di foto ...... motret memotret tp dengan kemampuan yang mumpuni tentunya.

Indonesian Coffee ......



Indonesia has its various region that has special character for each product. I found a brief information regarding Indonesian Specialty Coffee based on each region and two main species, as follows:

ARABICA:

1. Gayo Coffee
Geographical area : Gayo Highland, Central Aceh, Northern Sumatra
Altitude : 1,000 to 1,500 m
Very good aroma and complex coffee flavor, good acidity and rich body




2. Mandheling Coffee
Geographical area : Bukit Barisan Highland, North Sumatra
Altitude : 1,000 to 1,600 m
Very good aroma and complex flavor, light acidity and strong body

3. Lintong Coffee
Geographical area : Bukit Barisan Highland, North Sumatra, surrounding Lake Toba
Altitude : 1,300 to 1,600 m
Excellent aroma and complex flavor, medium acidity and excellent body




4. Java Coffee (well known as Jampit)
Geographical area : Ijen Highland, East Java
Altitude : 1,000 to 1,500 m
Good aroma and coffee flavor, high clean acidity and medium body, spicy tone




5. Toraja Coffee
Geographical area : Tana Toraja Highland, South Sulawesi
Altitude : 1,000 to 1,700 m
Excellent aroma and coffee flavor, high acidity and medium body, balance bitter hints



6. Kalosi Coffee
Geographical area : Tana Toraja Highland (southern part), South Sulawesi
Altitude : 1,000 to 1,600 m
Good aroma and coffee flavor, medium high acidity and medium body

7. Bali Coffee (well known as Kintamani)
Geographical area : Kintamani Highland
Altitude : 1,000 to 1,500 m
Good aroma and coffee flavor, medium to high acidity and medium body




8. Flores Coffee (well known as Bajawa)
Geographical area : Flores Highland, Flores Island, East Nusa Tenggara
Altitude : 1,000 to 1,500 m
Good aroma and excellent coffee flavor, medium acidity and strong body

ROBUSTA:

1. Jawa Robusta WIB
Geographical area : Central Java and East Java
Altitude : 300 to 800 m
Mild robusta flavor, less bitter and astringent, good body

2. Bali Robusta WIB
Geographical area : Pupuan
Altitude : 500 to 900 m
Mild robusta flavour, less astringent and bitterness, clean good body

3. Lampung Robusta Coffee AP
Geographical area : Bukit Barisan Highland (Southern Sumatra)
Altitude : 500 to 1,100 m
Good robusta flavor, strong body, bitter hints

4. Flores Robusta Coffee AP
Geographical area : Slope areas of several volcanoes, mid and west part of Flores Island
Altitude : 600 to 1,200 m
Good aroma and coffee flavor, good body, neutral taste

(source : Ministry of Agriculture Republic of Indonesia)

Rabu, 25 Mei 2011

Gabungan 2 passion: Coffee and Photo

Hmmmm ...... sedikit intermezzo .....

Pernah baca tapi lupa di mana, menurut sejarahnya awalnya cup lens ini merupakan gift dari sponsor lensa dalam hal ini Canon untuk peserta Olimpiade musim dingin di Canada. Dan selanjutnya diproduksi massal. Cup lens sendiri secara khas menjadikan nama blog dan hobby saya "Blend" menjadi 1 .... Lens sendiri mewakili photo dan Cupnya mewakili Coffee .... hehehehe ..... semoga pembaca "sedikit" menyetujuinya juga yah .....

Dan ini penampakannya:

Canon 24 - 105 mm f/4 L ..... with hood dan stainless inside


Canon 24 - 105 mm f/4 L ..... with hood dan plastict inside


Nikkor 24 - 70 mm dan bisa di zoom !!!!! ..... ana-ana wae .....


Nikkor 24 - 70 mm ..... dengan tutup see thru ....


Canon 70 - 200 mm f/4 L ..... yang ini bisa dipasang di kamera lho ..... hehehehe




Sekian intermezzo hari ini .... hmmm ..... jadi bener-bener coffeeandphoto jadinya ....

Stitching (Menggabungkan beberapa foto menjadi 1) utk Landscape


Seperti foto di atas adalah hasil penggabungan dari 5 foto yang digabungkan menjadi 1 via "digital darkroom" alias komputer dengan program standard .... Photoshop.

Stitching sendiri pada jamannya (maksudnya sebelum era digital) adalah pekerjaan yang sangat-sangat merepotkan, karena pada saat pengambilan fotonya sendiri si fotografer harus memperhatikan efek distorsi dari lensa pada tiap-tiap foto yang dibuatnya, karena akan mempersulit dalam penggabungan secara manual pasca cetak foto. Hal yang sangat berbeda di era digital ini, dengan efek distorsipun masih bisa diperbaiki di Photoshop.

Seperti foto di bawah ini adalah hasil dari 4 foto yang digabungkan jadi 1 .....


..... dan inilah kondisi foto-foto waktu masih berdiri sendiri-sendiri :





Yang perlu diingat dalam menggabungkan foto-foto adalah menetapkan batas-batas di mana tiap foto akan disatukan. Untuk mempermudah, pakailah lensa normal misalnya lensa 50mm karena tidak mengandung distorsi. Tapi bagi yang sudah lumayan bisa memanfaatkan Photoshop, pakai lensa-lensa a bit wide seperti lensa 35mm juga bisa tinggal nantinya diperbaiki unsur distorsinya di Photoshop.

Untuk membuat foto-foto sedetail mungkin, pergunakan bukaan diafragma yang kecil (angka "f" makin besar), misalnya f/16, f/20 dengan memakai ISO/ASA kecil misalnya ASA 100 plus disesuaikan dengan pencahayaan yang diinginkan.

Akhirnya ..... selamat mencoba ..... (tambahan 1 foto lagi di bawah yah yang merupakan gabungan dari 3 foto yang diambil masing-masing dengan lensa 28mm ..... bisa dilihat dari efek distorsi di 3 titik) .....


Semua foto diambil dengan DSLR Canon 50D dengan lensa Canon 17-40mm f/4 L ........

Selasa, 24 Mei 2011

Pour Over Method / Dripping


Salah satu ritual dalam membuat kopi adalah dengan metode dripping atau disebut juga dengan Pour Over Method. Metode ini sendiri sepertinya dimulai dari dataran Jepang dengan rasa dari kopinya sendiri akan slightly lebih light daripada dengan metode lain, semisal dengan menggunakan French Press. Kebetulan ritual yang saya lakukan pada saat breakfast .... mohon diabaikan mie gorengnya ... hehehehehe.

Adapun jenis Pour Over yang saya punya ada 2 merek yaitu: Hario (Japan) dan Tiamo (Taiwan), yang mempunyai perbedaan baik dari sisi bentuk, filter dan juga sedikit berbeda dalam drippingnya.




Beda bentuk akan mempunyai pengaruh beda hasil juga. Misalnya dengan bentuk lubang yang berbeda antara Hario dan Tiamo maka dengan grind size (besara atau ukuran kopi yang sudah ditumbuk) yang sama, maka akan menghasilkan kecepatan brewing yang berbeda antara Hario dan Tiamo sendiri yang menghasilkan profile rasa yang slightly berbeda juga. Belum lagi dipengaruhi oleh jenis kopi dari daerah yang berbeda dan roasting profile yang berbeda pula ..... hmmmm ..... pasti ada yang mikir, mau buat kopi aja kok repot yah ..... tapi memang di sana seninya.

Sekarang kita akan mulai dengan menimbang roasted bean yang nantinya akan kita grind atau "gerus" menjadi butiran-butiran bubuk kopi. Ada beberapa acuan racikan proporsi antara bubuk kopi dengan besaran gelas atau cup, dalam hal ini saya mengacu pada 11 gram roasted bean untuk cup sebesar 6oz (sekitar 180 ml).


Kemudian kita siapkan filternya dan diletakkan di Drippernya, dengan air panas dengan suhu tidak lebih dari 95 derajat celcius dalam ketel khusus. Bentuk ketel sendiri mempunyai moncong yang kecil agar kita bisa mengarahkan air lebih terarah.


Selanjutnya dilakukan proses membasahi filter dengan air panas yang fungsinya selain menghilangkan bau dan rasa kertas juga untuk membuat kertas menjadi lembab yang akan lebih baik dalam proses ini. Air dari poses ini nanti jangan dipakai, harus dibuang.


Setelah itu bubuk kopi yang sudah kita giling sebelumnya dimasukkan ke dalam Driper dengan filter yang sudah dibasahkan. Jangan lupa membuat lubang kecil ditengah-tengah dengan kelingking. Lubang ini berfungsi dalam proses awal dalam menuangkan air panas (brewing).


Pada saat menuangkan air panas, jangan melakukannya secara terburu-buru. Langkah pertama, tuangkan air panas secara sedikit demi sedikit ke dalam lubang kecil yang sudah kita buat dan biarkan dia membasahi bagian dalam dari bubuk kopi, proses ini sering juga disebut dengan Pre-Infusion.


Setelah itu dilanjutkan secara perlahan-lahan, setahap demi setahap serta juga menyiramkannya ke sekeliling atau pinggiran dari area bubuk kopi. Akan ada proses dimana akan ada semacam busa kecoklatan yang akan muncul, itu disebut dengan "Crema" yang merupakan hasil pertemuan antara air panas dengan bubuk kopi.


Setelah air hasil saringan dari Dripper plus filter ini mencapai batas optimum di gelas, hentikan proses Dripping / Pour Over ini. Kopi akan terlihat hitam di gelas, yang kalau kita telaah lebih lanjut sebenarnya warnanya adalah coklat dan dengan kekentalan agak sedikit lbh kental dari air putih biasa tetapi tidak sekental kopi tubruk.


Hmmmmm ...... mie goreng ludes dan kopipun siap dinikmati ...... selamat mencoba.


(foto-foto dibuat dengan iPhone, sehingga mungkin hasil kurang maksimal)